burung - burung bertebaran





















































date, hour and day

ELDO TOBING

kursor bintang berjatuhan

energy saving

Guest Book

Minggu, 12 Desember 2010

Transformasional & Visioner : Suatu Metode Mitigasi Krisis Kepemimpinan Bangsa

Parameter pengukuran kualitas suatu bangsa adalah sirkulasi kepemimpinan yang lancar dengan sokongan kaderisasi kepemimpinan yang melembaga. Reformasi yang telah berlangsung selama satu dasawarsa ini nyaris tidak mempunyai perbaikan dalam kaderisasi kepemimpinan. Peralihan kekuasaan dengan bergantinya kepemimpinan nasional memang terjadi seperti melalui pemilu, tetapi perubahan kultural yang diharapkan melalui pergantian kekuasaan ini tidak terjadi. Ini terbukti dengan masih adanya partai politik yang bersifat pragmatisme dalam demokrasi yang mengindikasikan masih melekatnya nilai dan tradisi lalu. Hal ini disertai juga oleh munculnya elit reformis oportunis yang mempunyai ambisi untuk terus berkuasa tanpa adanya orientasi melayani rakyat, ini menandakan bahwa terjadinya kelangkaan di tubuh elite politik yang mampu memimpin dengan integritas moral dan kapabilitas kepemimpinan yang profesional. Hal lain penyebab krisis kepemimpinan dikarenakan bangsa ini telah kehilangan kapasitas institusional dan interpersonal yang mampu mentransformasi individu secara utuh untuk mencapai efektifitas hidup. Kapasitas institusional dan interpersonal disini adalah kemampuan sebuah insitusi dan para individu yang ada didalamnya untuk berupaya masuk ke dalam proses mencetak pemimpin. Seringkali kultur dan struktur yang ada dalam berbagai jenis organisasi seringkali malah mematikan potensi kepemimpinan seseorang bahkan yang lebih krusial lagi ketika institusi ataupun organisasi mengabaikan kebutuhan akan lahirnya seorang figur alternatif yang sudah ditunggu kehadirannya oleh publik. Tentunya melihat kondisi seperti ini kita sudah seharusnya bangun dari tidur panjang ini dan memulai melangkah untuk mengatasi krisis yang ada daripada mengkritik realitas penyuapan jaksa, korupsi elit, pelemahan KPK, kasus Century, studi banding anggota legislatif dan kasus lainnya yang seolah – olah tak pernah berujung dan menandakan terjadinya degradasi moral.
Mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa tidak boleh diam saja dalam melihat realitas yang ada, peran yang diemban mahasiswa yang selalu didengungkan seperti agent of change, iron stock, dan guardian of value haruslah dikontribusikan secara nyata. Mahasiswa sebagai tonggak perubahan dapat merefleksikan diri pada sejarah yang mengatakan bahwa perubahan dan peradaban dicapai dan dibangun oleh mayoritas pemudanya, hal ini terbukti bagaimana mahasiswa menjadi pelopor perubahan di masa lalu mulai dari pergerakan nasional tahun 1908 (Boedi Oetomo), lahirnya Sumpah Pemuda hingga penjatuhan rezim orde baru yang menandai dimulainya reformasi. Progresifitas dan pergerakan yang dilakukan itu demi menjaga nilai- nilai bangsa sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Namun, realitas mahasiswa saat ini berbeda drastis dengan kondisi masa lalu dimana peran mahasiswa sebagai pengabdi masyarakat semakin kabur dan terkurung dalam paradigma “cepat lulus dan langsung kerja”. Orientasi mahasiswa juga telah berubah dari idealis ke pragmatis ditandai dengan terpolanya perilaku-perilaku oportunistis yang negatif seperti menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai yang baik termasuk mencontek. Memang, masih ada mahasiswa yang digolongkan sebagai aktivis dimana memperjuangkan hak rakyat kecil dan pengontrol sosial terhadap kebijakan yang dilakukan pemerintah melalui aksi dan orasi mereka, tetapi seringkali aksi yang dilakukan itu bersifat anarkis yang berujung pada tidak respeknya masyarakat terhadap aksi tersebut.
Berdasarkan fenomena yang terjadi diatas, maka diperlukan suatu strategi mitigasi krisis kepemimpinan bangsa yang dimulai dari mahasiswa sebagai motor pergerakan bangsa selanjutnya yaitu dengan menciptakan pemimpin yang transformasional dan visioner. Pemimpin Transformasional didefenisikan sebagai pemimpin yang mempunyai pribadi yang kuat dalam menyatukan visi dan misi bersama demi masa depan serta menghilangkan kepentingan diri sendiri untuk menggantikannya dengan kerelaan ( Hater dan Bass, 1988). Untuk membentuk kepemimpinan seperti ini, maka dibutuhkan perubahan dalam tataran nilai yang telah berkembang selama ini. Mahasiswa yang dikenal memiliki idealisme tinggi karena belum terpengaruh oleh aliran atau ajaran politik tertentu seharusnya memiliki kontribusi substantif dengan mendobrak kultur lama dengan disiplin ilmunya dan kontrol sosialnya. Hal itu dikarenakan pemimpin saat ini cenderung menerapkan model transaksional yaitu dengan membangun pola relasi antara pemimpin dengan konstituen, maupun antara pemimpin dengan elit politik lainnya yang dilandasi oleh semangat pertukaran kepentingan ekonomi atau politik (Burns 1978), seperti transaksi suara, janji-janji material dan jabatan bagi pemilih serta penghargaan atas loyalitas personal yang sebenarnya menghambat proses reformasi politik sebab proses perubahan yang fundamental dihadang oleh kepentingan personal dari para elit politik yang akhirnya berdampak buruk bagi konsolidasi demokrasi negara ini.
Model kedua yaitu pemimpin visioner yang merupakan kemampuan pemimpin dalam mencipta, merumuskan, mengkomunikasikan dan mengimplementasikan pemikiran-pemikiran ideal sebagai cita-cita jangka panjang dimasa depan yang diraih melalui komitmen semua pihak. Seorang pemimpin yang visioner mempunyai visi yang jelas dan berorientasi pada suatu perubahan. Visi didefenisikan Benis dan Nanus, (1997:19) sebagai: “Something that articulates a view of a realistic, credible, attractive future for the organization, a condition that is beter in some important ways than what now exists”. Intinya visi itu menjadi suatu gambaran mengenai masa depan yang kita inginkan bersama dan visi itu sendiri terbentuk dari perpaduan antara inspirasi, imajinasi, wawasan, nilai-nilai, informasi, pengetahuan dan keputusan. Dalam pembentukan pemimpin visioner ini, mahasiswa harus melakukan langkah konkrit untuk terjun dalam realita keterpurukan bangsa ini agar dapat menemukan tatanan nilai yang tepat melalui proses analisis langsung di lapangan.
Kepemimpinan yang efektif akan tercipta ketika kepemimpinan transformasional dan visioner dilaksanakan secara bersamaan. Kedua model kepemimpinan ini memiliki karakter yang karismatik karena mampu untuk membangun ikatan emosional yang kuat dengan publik untuk mencapai tujuan tertentu dan ikatan yang dibangun dengan publik lebih bersifat kesamaan sistem nilai ketimbang loyalitas personal (Hughes 2001 ). Di konteks mahasiswa dalam membentuk kepemimpinan tersebut, maka seorang mahasiswa sudah saatnya melakukan pengkritisan terhadap kebijakan pemerintah atau kalangan birokrat, penyaluran aspirasi rakyat kecil kepada wakil rakyat, serta pengawal garda terdepan dari kepentingan-kepentingan rakyat terhadap struktur pemerintahan. Di sisi lain, peranan mahasiswa untuk merubah kultur di kepemimpinan saat ini dengan membentuk karakter pembina serta memiliki visi masa depan sebagai investasi pembangunan bagi bangsa ini. Untuk mencapai tahap tersebut, maka diperlukan media pengembangan dan pelaksanaan kepemimpinan tahap awal yang dapat mahasiswa peroleh di ruang lingkup mikro seperti di organisasi intra kampus (UKM), organisasi masyarakat hingga LSM yang berfungsi sebagai proses pelatihan kepemimpinan. Dalam proses tersebut mahasiswa sudah sepatutnya mempunyai keseimbangan dalam hal akademis maupun sebagai aktivis yang mengabdi kepada masyarakat, agar nilai – nilai yang disuarakan mempunyai kualitas dan dampaknya pada terciptanya suatu perubahan yang diharapkan.
Kepemimpinan transformasional dan visioner akan terwujud ketika individu ataupun mahasiswa menjadi aktor utama dalam proses perubahan dan cakap secara inspirasional memvisualisasikan bentuk masyarakat atau tatanan baru yang ingin dicapai. Nilai – nilai yang diperoleh mahasiswa selama menjalani proses akademisi dan organisasi disinergikan dengan perilaku yang bercita - cita lebih tinggi dan mengandung aspek moral seperti kemerdekaan, keadilan dan kemanusiaan, bukan didasarkan atas emosi seperti keserakahan, kecemburuan, kebencian dan kepentingan diri sendiri, dimana nilai – nilai diatas sulit ditemui di tubuh pemimpin Indonesia dewasa ini. Ketika dewasa ini elit cenderung mementingkan kelompok tertentu dan adanya imbalan politik ( money politic) dalam proses kepemimpinannya, maka seorang mahasiswa yang dikategorikan sebagai pemimpin transformasional dan visioner bertindak demi kepentingan banyak pihak dengan visinya yang ideal , hasrat semangat dalam mengabdi dan menciptakan solusi terhadap permasalahan bangsa yang ada, bukan malah mempersulit masalah dengan alibi tertentu yang menunjukkan keborokan mental. Pembentukan nilai dan mental kepemimpinan ini tentunya tidak dapat dipisahkan dari peran kampus sebagai “laboratorium kepemimpinan” mahasiswa, dimana peran kampus dibutuhkan untuk membentuk kepribadian yang mengintegrasikan potensi intelektual, fisikal, dan spiritual. Selain itu diperlukan juga membina mahasiswa satu sama lain dengan stimulus kepemimpinan untuk menciptakan pemimpin total dalam mengerahkan segenap potensi yang ada pada dirinya untuk kemajuan bangsa ( totality principal).
Perlu disadari bahwa menghasilkan kepemimpinan dengan kualitas seperti itu ke panggung utama tampuk kepemimpinan bukanlah melalui proses yang instan, namun melalui penitian pemgembangan diri secara berjenjang dan melalui proses yang panjang. Kultur jalan pintas untuk menuju kekuasaan, ketidakmampuan untuk membangun sistem meritokrasi yang kokoh dan kelalaian dalam melanggengkan tradisi regenerasi harus diberantas habis demi membentuk nilai moral bangsa menjadi tatanan yang ideal. Masyarakat merindukan pemimpin alternatif visoner ( survei Lead Institute dan Indobarometer, Juli 2007) yang dapat mengganti pemimpin pragmatis yang telah membuat kekecewaan publik. Maka, metode kepemimpinan transformasional serta visioner itulah yang perlu dibangun mahasiswa dalam memainkan peran ditengah elemen masyarakat untuk mengatasi krisis kemimpinan bangsa ini. Hidup Mahasiswa!!!



Referensi
Adair, J. (1983). Effective Leadership. London: Pan
Bass, B.M & Avolio, B.J (1994). Improving Organizational Effectivess through Transformational Leadership. Thousand Oaks, CA: Sage.
Bernards M.Bass. (1990). Stodgill’s Handbook of Leadership. New York: Pee Press.
Burns, J. M. (1978). Leadership. New York: Harper & Row.
Burt Nanus, alih bahasa oleh Frederick Ruma (2001), Kepemimpinan Visioner, Jakarta : Prenhallindo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar